Kamis, 28 Maret 2013

Kesehatan Mental - Tulisan 3

Penyesuain Diri dan Pertumbuhan

Keterkaitan Penyesuaian diri dengan Kesehatan Mental
            Penyesuain diri dapat diartikan juga sebagai suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustasi, dan konflik dengan memperhatikan norma atau tuntutan lingkungan dimana ia hidup. Penyesuaian diri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu berdasarkan :
1.      Gejala masalah, yang meliputi : neurotic, psikotik, psikopatik, epileptic
2.      Jenis kualitas respon, yang meliputi : penyesuaian yang normal dan penyesuaian yang tidak normal atau menyimpang, yang meliputi : defence reactions, escape and withdrawing, illness dan aggression
3.      Jenis masalah, yang meliputi : personal, social, keluarga, akademik, vokasional dan marital (pernikahan).
Keterikatan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri adalah bahwa :
·        Kesehatan mental merupakan kunci dari penyesuaian diri yang sehat (mental health is the key to wholesome adjustment)
·        Kesehatan mental merupakan bagian integral dari proses adjustment secara keseluruhan
·        Kualitas mental yang sehat merupakan fundamen yang penting bagi “good adjustment”.
Untuk memahami pernyataan-pernyataan tersebut, disini dikemukakan contohnya sebagai berikut.
1.      Siswa yang mengalami depsresi (kualitas kesehatan mental), tidak akan dapat belajar dengan baik (kualitas penyesuaian).
2.      Seorang ibu rumah tangga yang memiliki perasaan cemas (kualitas kesehatan mental), tidak mungkin dapat menyesuaikan dirinya secara tepat dengan tuntutan keluarganya (kualitas penyesuaian).
3.      Seorang pengusaha yang selalu khawatir (kualitas kesehatan mental), tidak akan dapat mengelola perusahaanya dengan sukses (kualitas penyesuaian).
Namun orang yang tidak dapat menyesuaikan dirinya terhadap suatu hal, belum tentu mentalnya tidak sehat. Contohnya : seseorang yang tidak dapat memenuhi persyaratan pekerjaan, tidak dapat dikatakan bahwa dia itu sehat atau sakit mentalnya. Orang itu baru dapat dikatakan mentalnya tidak sehat, apabila kesulitan yang dialaminya dalam memenuhi persyaratan pekerjaan itu, menyebabkan berkembangnya perasaan frustasi, tidak bahagia, rasa benci atau rasa permusuhan.
Sumber : Yusuf, Syamsu,LN.M.Pd. 2004. Mental Hygiene (Pengembangan Kesehatan Mental 
                  dalam Kajian Psikologi dan Agama). Bandung: Pustaka Bani Quraisy

PERTUMBUHAN PERSONAL
Pertumbuhan Pribadi manusia adalah suatu proses organis dan bukan suatu proses mekanis. Kita tidak lagi berbicara tentang membangun, melainkan tentang mengasuh, tidak lagi tentang melekatkan dasar-dasar melainkan tentang menumbuhkan akar-akar, tidak lagi menanamkan melainkan menstimulasi dan menjawab kebutuhan-kebutuhan secara baik.
Pertumbuhan adalah proses yang mencakup pertambahan dalam jumlah dan ukuran, keluasan dan kedalaman. Prof. Gessel mengatakan, bahwa pertumbuhan pribadi manusia adalah proses yang terus-menerus. Semua pertumbuhan terjadi berdasarkan pertumbuhan yang terjadi sebelumnya.
Kita sebagai manusia akan selalu mengalami dua aspek pertumbuhan pribadi. Pada satu pihak, kita mempunyai irama dan bobot pertumbuhan pribadi yang sifatnya individual. Irama serta bobot pertumbuhan ini mungkin cepat mungkin lambat, mungkin sehat dan berlangsung secara baik dari tahap yang satu ke tahap lainnya, mungkin sangat menggembirakan dan menghasilkan suatu pribadi yang normal. Namun ada juga orang lain yang irama serta bobot pertumbuhannya kurang baik, kurang sehat, sehingga pribadi yang dihasilkan tidak normal.
Sumber : http://gracekillho.blogspot.com/2011/03/penyesuaian-diri-pertumbuhan-personal.html

NUNIK PARWATI
17511862
2PA01

Kesehatan Mental - Tulisan 2

TEORI KEPRIBADIAN SEHAT
Aliran Psikoanalisa
Orang yang pertama kali berusaha merumuskan psikologi manusia dengan memperhatikan struktur jiwa manusia adalah Sigmund Freud. Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia yang disebutnya id, ego, dan superego (Heru Basuki: 2008, 12-31; Sumadi Suryabrata: 2003, 34).
Id adalah bagian dari kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia, atau disebut juga pusat insting (hawa nafsu).

Ada dua insting dominan yaitu : a. libido; yaitu insting reproduktif untuk tujuan-tujuan konstruktif, Insting ini disebut juga insting kehidupan/ eros, misalnya, dorongan seksual, segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan dan cinta diri/ narsisme ; b. Thanatos, yaitu insting destruktif dan agresif. Insting ini disebut juga insting kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. Walaupun Id mampu melahirkan keinginan, tetapi ia tidak mampu memuaskan keinginannya.
Ego berfungsi menjembatani tuntutan-tuntutan Id dengan reaitas di dunia luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dan tuntutan rasional dan realistic. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id mendesak supaya anda membalas ejekan lagi, ego segera memperingatkan anda bahwa lawan anda adalah “Bos” yang dapat memecat anda. Kalau anda mengikuti desakan Id, maka anda akan konyol. Setelah itu anda baru ingat, bahwa bahaya jika sampai berani melawan pimpinan dalam budaya Indonesia.
Superego adalah “polisi kepribadian” yang mewakili dunia ideal. Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma social dan cultural masyarakatnya. Superego akan memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tidak berlainan kea lam bawah sadar. Baik id maupun superego berada dalam bawah sadar manusia, sedangkan ego berada ditengah, antara memenuhi desakan id dan peraturan superego. Untuk mengatasi ketegangan , ia dapat menyerah pada tuntutan id, tetapi berarti dihukum superego dengan perasaan bersalah. Untuk menghindari ketegangan, konflik atau frustasi, ego secara sadar lalu menggunakan mekanisme pertahanan ego, yaitu dengan mendistorsi realitas. Secara singkat, dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi komponen biologis (id), komponen psikologis (ego) dan komponen social (superego), atau unsure animal, rasional dan moral (hewani, akal dan nilai) (Bertens, 2006: 21).
Sumber : Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,  
                 Purwokerto: STAIN PRESS




Aliran Behavioralisme
Behavioristik lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak).
Behavioristik ingin menganalisis hanya perilaku yang Nampak saja, yang dapat diukur,dilukiskan dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioristik lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia, kecuali insting adalah hasil belajar. Behavioristik tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; kaum behavioristik hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh factor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (homo mechanicus”). Behavioristik sangat banyak menentukan perkembangan psikologi, terutama dalam hal eksperimen-eksperimen. Kajian-kajian psikologi seringkali hanya mencerminkan pendekatan ini (Calvin Hall, 1993:45).
Pemikiran behavioristik sebenarnya sudah dikenal sejak Aristoteles yang berpendapat bahwa, pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa sama seperti meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman.
Kemudian John Locke meminjam konsep ini, yang dikenal sebagai sebagai kaum empirisme. Menurut mereka, pada waktu lahir, manusia todak mempunyai warna men tal. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah jalan satu-satunya kearah penguasaan pengetahuan. Secara psikologis, ini berarti bahwa seluruh perilaku manusia, kepribadian dan tempramen ditentukan oleh pengalaman indrawi. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku manusia, tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu. Salah satu kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedomisme, salah satu paham filsafat etika memandang manusia sebagai mahluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Utilitarianisme mencoba mengkaji seluruh perilaku manusia pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonism, maka akan kita temukan behavioristik (Sumadi, 2003: 34).
Memang behavioristik tidak bisa menjelaskan tentang motivasi. Motivasi memang terjadi dalam diri individu, sedangkan kaum behavioristik hanya melihat peristiwa-peristiwa yang “kasat mata” dalam arti yang dapat diamati bersifat eksternal. Perasaan dan pikiran tidak menarik perhatian kaum behaviorisme. Beberapa ratus tahun kemudian barulah psikologi kembali memasuki proses kejiwaan internal. Paradigm baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif.
Sumber : Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,  
                 Purwokerto: STAIN PRESS



Aliran Humanistik
Psikologi humanistic dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama dan kedua adalah psikoanalisis dan behavioralisme.
Dalam pandangan behavioristik manusia menjadi robot tanpa jiwa dan tanpa nilai. Psikologi humanistic mengambil banyak dari psikoanalisis neo-Freudian seperti Adler dan Jung, serta banyak mengambil pemikiran fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subjektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. Alam pengalaman setiap orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.
Menurut Alfred Schultz, tokoh fenomenologi, pengalaman subjektif ini dikomunikasikan oleh factor social dalam proses intersubjektivitas. Intersubjektivitas diungkapkan pada eksisten-sialisme dalam tema dialog, pertemuan, hubungan diri dengan orang lain. Eksistensialisme menekankan pentingnya kewajiban individu sesame manusia. Yang paling penting bukan apa yang didapat dari kehidupan, teta[I apa yang dapat kita berikan untuk kehidupan.
Hidup kita baru bermakna hanya apabila melibatkan nilai-nilai dan pilihan yang konstruktif secara social. Jadi intisari dari psikologi humanism adalah bahwa pada keunikan manusia, pentingnya nilai dan makna, serta kemampuan manusia untuk mengembangkan dirinya. Pandangan psikologi humanism pada intinya adalah setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi dimana dia (Sang Aku, Ku, atau Diriku/ I, Me atau My self) menjadi pusat. Perilaku manusia berpusat pada konsep diri, yaitu persepsi manusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah, yang munculdari suatu medan fenomenal. Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya. Dengan perkataan lain, ia bereaksi pada “realitas” seperti yang dipersepsikan olehnya dengan cara yang sesuai dengan konsep dirinya. Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri berupa penyempitan dan pengkakuan persepsi dan perilaku penyesuaian serta pengguanaan mekanisme pertahanan ego seperti rasionalisasi. Kecenderungan batiniah manusia adalah menuju kesehatan dan keutuhan diri. Dalam kondisi yang normal ia berperilaku rasional dan konstruktif, serta memilih jalan menuju pengembangan dan aktualisasi diri.
Sumber : Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,  
                 Purwokerto: STAIN PRESS

NUNIK PARWATI
17511862
2PA01

Kesehatan Mental - Tulisan 1


KONSEP SEHAT
Sebagai makhluk hidup manusia memiliki kesamaan dengan makhluk hidup lainnya, yakni lahir, tumbuh, berkembang, mengalami dinamika stabil-labil, sehat-sakit, normal-abnormal dan berakhir dengan kematian. Berbeda dengan hewan, manusia adalah makhluk yang bisa menjadi subjek dan objek sekaligus, oleh karena itu manusia selalu tertarik untuk membicarakan, menganalisa dan melakukan hal-hal yang diperlukan diri sendiri. Sebagian besar ilmu pengetahuan dan teknologi yang disusun dan dibangun oleh manusia adalah untuk kepentingan diri manusia itu sendiri, menyangkut kesehatannya, kenyamanannya, kesejahteraannya dan semua hal yang dipandang dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Meski demikian banyak hal yang dilakukan oleh manusia tak jarang justru membuat manusia menjadi semakin tidak sehat dan tidak nyaman dalam hidupnya.
Sehari-hari kita menggunakan istilah sehat wal afiat untuk menyebut kondisi kesehatan yang prima, tetapi jika kita merujuk kepada asal istilah itu yakni “as shihhah wa al ‘afiyah” disitu ada dua dimensi pengertian. Kata ‘sehat’ merujuk pada fungsi, sedangkat kata ‘afiat’ merujuk kepada kesesuaian dengan maksud penciptaan. Mata yang sehat adalah mata yang dapat digunakan untuk melihat tanpa alat bantu, sedangkan mata yang afiat adalah mata yang tidak bisa digunakan untuk melihat sesuatu yang dilarang melihatnya, misalnya mengintip orang mandi, karena maksud Tuhan menciptakan mata adalah sebagai penunjuk pada kebenaran, membedakannya dari yang salah. Tangan yang sehat adalah tangan yang mudah digunakan untuk mengerjakan pekerjaan yang halal , sedangkan tangan yang afiat adalah tangan yang tidak bisa digunakan untuk mengerjakan atau melakukan sesuatu yang diharamkan, karena maksdu diciptakan tangan oleh Tuhan adalah untuk berbuat baik dan mencegah kejahatan (Zulkifli Yunus, 1994: 57).
Sumber  : Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,  
                  


 Purwokerto: STAIN PRESS

Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Secara umum dan secara historis kajian kesehatan mental terbagi dalam dua periode yaitu Periode Pra-Ilmiah dan Periode Ilmiah (Langgulung, 1986: 23).
·        Periode Pra Ilmiah
1.      Kepercayaan Animisme
Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah muncul dalam konsep primitive animism, yaitu suatu kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitive percaya bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling dan pohon tumbuh karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebut. Orang yunani kuno mempercayai bahwa orang itu mengalami gangguan mental, karena dewa marah kepadanya dan membawa pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dan korban.
2.      Kemunculan Naturalisme
Perubahan sikap terhadap tradisi animism terjadi pada zaman Hipocrates (460-367). Dia dan pengikutnya mengembangkan pandangan revolusioner dalam pengobatan, yaitu dengan menggunakan pendekatan “Naturalisme”, suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental atau fisik itu merupakan akibat dari alam. Hipocrates menolak pengaruh roh, dewa, syetan atau hantu sebagai penyebab sakit.
Ide naturalistic  ini kemudian dikembangkan oleh Galen, seorang tabib dalam lapangan pekerjaan pemeriksaan atau pembedahan hewan. Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan naturalistic ini tidak dipengaruhi lagi dikalangan orang-orang Kristen. Seorang dokter Perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filsafat politik dan social yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia telah terpilih menjadi kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini, para pasiennya (yang maniac) dirantai, diikat ke tembok dan tempat tidur. Para pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau lebih, dan mereka dipandang sangat berbahaya dibawa jalan-jalan disekitar rumah sakit. Akhirnya, di antara mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan lagi kecenderungan untuk melukai atau merusak dirinya sendiri.
·        Periode Ilmiah (Modern)
Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan cara pengobatan gangguan mental, yaitu dari animism (irrasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya psikologi abnormal dan psikiatri di Amerika, yaitu pada tahun 1783. Ketika itu Benyamin Rush (1745-1813) ,menjadi anggota staff medis di rumah sakit Penisylvania. Dirumah sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai “lunatics” (orang-orang gila atau sakit ingatan).
Pada waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyebab kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui bagaimana menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersebut dikurung dalam sel yang kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekali-kali diguyur dengan air.  Rush melakukan suatu usaha yang sangat berguna untuk memahami orang-orang yang menderita gangguan mental tersebut. Cara yang ditempuhnya adalah dengan melalui penulisan artikel-artikel dalam koran, ceramah, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Akhirnya setekah usaha itu dilakukan (selama 13 tahun), yaitu pada tahun 1796, di rumah sakit dibangunlah ruang khusus bagi para pasien penderita gangguan mental. Ruangan ini dibedakan untuk pasien wanita dan pria. Secara berkesinambungan, Rush mengadakan pengobatan kepada para pasien dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.
Perkembangan psikologi abnormal dan psikiatri ini memberikan pengaruh kepada lahirnya Mental Hygiene yang berkembang menjadi suatu “body of knowledge”.  Perkembangan mental hygiene dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli, dalam hal ini terutama dua tokoh perintis yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford Whittingham Beers.
Dorothea Lynde Dix adalah seorang guru sekolah yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagai perintis, selama 40 tahun dia berjuang untuk memberikan pengobatan terhadap orang-orang gila secara lebih manusia. Berkat usahanya yang tak kenal lelah di Amerika Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa, dimana ia menjadi salah seorang pendirinya.
Pada tahun 1909, gerakan mental hygiene secara formal mulai muncul. Selama decade 1900-1909 beberapa organisasi mental hygiene telah didirikan, seperti American Social Hygiene Association (ASHA) dan American Federation for Sex Hygiene. Perkembangan ini tidak lepas dari jasa Clifford Whittingham Beers (1876-1943) dank arena jasanya ia dinobatkan sebagai “The founder of the Mental Hygiene Movement”. Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam mental hygiene, dipengaruhi juga oleh pengalamannya sebagai pasien di beberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di rumah sakit ia mendapatkan pelayan yang keras dan kasar. Semenjak dari keadaan itu ia mulai memperbaiki diri dan mulai mengembangkan gagasan untuk membuat suatu gerakan untuk melindungi orang-orang yang mengalami gangguan mental. Setelah ia sembuh dan kembali ke kehidupan normal pada tahun 1908 dia menindaklanjuti gagasannya dengan memublikasikan sebuah tulisan autobigrafinya sebagai mantan penderita gangguan mental berjudul “A Mind That Found Itself” .
Beers meyakini bahwa penyakit atau gangguan mental dapat dicegah atau disembuhkan dengan merancang suatu program yang bersifat nasional. Program tersebut ternyata mendapat respon yang positif dari kalangan masyarakat, terutama kalangan para ahli seperti William James dan seorang psikiatris ternama yaitu Adolf Meyer. Dan Adolf Meyer menyarankan untuk menamai gerakan itu dengan nama “Mental Hygiene”, dengan demikian yang mempopulerkan istilah tersebut ialah Meyer.
Secara hukum, gerakan mental hygiene ini mendapat pengukuhannya pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika Presiden Amerika Serikat menandatangani “The National Mental Health Act”. Tindak lanjut dari program aksi ini, dikeluarkannya dana yang sangat besar untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah diprogramkannya. Gerakan mental hygiene ini terus berkembang, sehingga tahun 1975 di Amerika terdapat lebih dari seribu tempat perkumpulan kesehatan mental.
Sumber : Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,  
                 Purwokerto: STAIN PRESS

Pendekatan Kesehatan Mental
 Saparinah Sadli (dalam Suroso, 2001: 132) mengemukakan tiga orientasi Kesehatan Mental :
1.      Orientasi Klasik
Seseorang dianggap sehat bila ia tidak mempunyai keluhan tertentu seperti seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak berguna yang semuanya menimbulkan perasaan sakit atau rasa tidak sehat, serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di lingkungan kedokteran.
2.      Orientasi Penyesuaian Diri
Seseorang dianggap sehat mental bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya.
3.      Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.
Sumber : Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,  
                 Purwokerto: STAIN PRESS

Nunik Parwati
17511862
2PA01