Coping Stress
- Pengertian dan Jenis-jenis Coping Stress
- Pengertian Coping Stress
Individu
dari semua umur mengalami stres dan mencoba untuk mengatasinya. Karena
ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyaman,
seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres.
Hal-hal yang dilakukan bagian dari
coping (dalam Jusung, 2006).
Menurut
Colman (2001) coping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands dan
resources yang dinilai dalam suatu keadaan yang stressful.
Lazarus
& Folkman (1986) mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk
mengurangi stres, yang merupakan proses
pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang dinilai sebagai beban
yang melampaui kemampuan seseorang.
Sarafino
(2006) menambahkan bahwa coping adalah
proses dimanaindividu melakukan usahauntuk mengatur (management) situasi
yangdipersepsikan adanya kesenjangan antara usaha (demands) dan
kemampuan(resources) yang dinilai sebagai penyebab munculnya situasi
stres.
Menurut
Sarafino (2006) usaha coping sangat bervariasi dan tidak selalu dapat membawa
pada solusi dari suatu masalah yang menimbulkan situasi stres. Individu melakukan
proses coping terhadap stres melalui proses transaksi dengan lingkungan, secara
perilaku dan kognitif.
- Jenis- jenis Coping Stress
Lazarus &
Folkman (1986) mengidentifikasikan berbagai jenis strategi coping,
baik secara problem-focused maupun emotion-focused, antara
lain:
1. Planful problem
solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, dan
menggunakan usaha untuk memecahkan masalah.
2. Confrontive coping
yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah situasi,
mencari penyebabnya dan mengalami resiko.
3. Seeking social
support yaitu menggunakan usaha untuk mencari sumber
dukungan informasi, dukungan sosial dan dukungan emosional.
4. Accepting
responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam
masalah
5. Distancing yaitu
menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian
lebih kepada hal yang dapat menciptakan suatu pandangan
positif.
6. Escape-avoidance
yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau
menghindari.
7. Self-control yaitu
menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan
diri sendiri.
8. Positive
reappraisal yaitu menggunakan usaha
untuk menciptakan hal-hal positif dengan memusatkan pada diri sendiri dan juga
menyangkut religiusitas.
Sumber : www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24670/.../Chapter%20II.pdf
- Jenis- jenis Coping yang Konstruktif atau Positif (Sehat)
Harber
& Runyon (1984) menyebutkan jenis-jenis koping yang
dianggap
konstruktif, yaitu:
1.
Penalaran (Reasoning)
Yaitu penggunaan kemampuan
kognitif untuk mengeksplorasi berbagai macam alternatif pemecahan masalah dan
kemudian memilih salah satu alternatif yang dianggap paling menguntungkan.
Individu secara sadar mengumpulkan berbagi informasi yang relevan berkaitan
dengan soal yang dihadapi, kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya,
kemudian memilih alternatif yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya
paling kecil dan keuntungan yang diperoleh paling besar.
2.
Objektifitas
Yaitu kemampuan untuk membedakan
antara komponen-komponen emosional dan logis dalam pemikiran, penalaran maupun tingkah laku. Kemampuan ini juga meliputi kemampuan untuk
membedakan antara pikiran-pikiran yang berhubungan dengan persoalan yang tidak
berkaitan. Kemampuan untuk melakukan koping
jenis objektifitas mensyaratkan individu yang bersangkutan memiliki
kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga individu mampu memilah dan membuat
keputusan yang tidak semata didasari oleh pengaruh emosi.
3.
Konsentrasi
Yaitu kemampuan untuk memusatkan
perhatian secara penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi
memungkinkan individu untuk terhindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu
ketika berusaha untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Pada
kenyataanya, justru banyak individu yang tidak mampu berkonsentrasi ketika
menghadapi tekanan. Perhatian mereka malah terpecah-pecah dalam berbagai arus
pemikiran yang justru membuat persoalan menjadi semakin kabur dan tidak
terarah.
4.
Humor
Yaitu kemampuan untuk melihat segi
yang lucu dari persoalan yang sedang dihadapi, sehingga perspektif persoalan
tersebut menjadi lebih luas, terang dan tidak dirasa sebagai menekan lagi
ketika dihadapi dengan humor. Humor memungkinkan individu yang bersangkutan untuk memandang persoalan
dari sudut manusiawinya, sehingga persoalan diartikan secara baru, yaitu
sebagai persoalan yang biasa, wajar dan dialami oleh orang lain juga.
5.
Supresi
Yaitu kemampuan untuk menekan
reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada sehingga memberikan cukup waktu
untuk lebih menyadari dan memberikan reaksi yang lebih konstruktif. Koping
supresi juga mengandaikan individu memiliki kemampuan untuk mengelola emosi
sehingga pada saat tekanan muncul, pikiran sadarnya tetap bisa melakukan
kontrol secara baik. Berhitung sampai sepuluh ketika mulai merasakan emosi
marah, sehingga kepala menjadi dingin kembali sehingga mampu memikirkan
alternatif tindakan yang lebih baik, merupakan contoh supresi.
6.
Toleransi terhadap Kedwiartian atau Ambiguitas
Yaitu kemampuan untuk memahami
bahwa banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang bagi ketidak
jelasan tersebut. Kemampuan melakukan toleransi mengandaikan individu sudah
memiliki perspektif hidup yang matang, luas dan memiliki rasa aman yang cukup.
7.
Empati
Yaitu kemampuan untuk melihat
sesuatu dari pandangan orang lain. Empati juga mencakup kemampuan untuk
menghayati dan merasakan apa yang dihayati dan dirasakan oleh orang lain.
Kemampuan empati ini memungkinkan individu mampu memperluas dirinya dan
menghayati perspekt if pengalaman orang lain sehingga individu yang
bersangkutan menjadi semakin kaya dalam kehidupan batinnya.
APA (1994)
yang menerbitkan DSM-IV juga menyebutkan
sejumlah
koping yang sehat yang merupakan bentuk penyesuaian diri
yang
paling tinggi dan paling baik (high adaptive level) dibandingkan
dengan
jenis koping lainnya. Selain supresi, sublimasi, dan humor
seperti
yang telah disebutkan di muka, jenis koping yang sehat lainnya
adalah:
1.
Antisipasi
Antisipasi berkaitan dengan
kesiapan mental individu untuk menerima suatu perangsang. Ketika individu
berhadap dengan konflik-konflik emosional atau pemicu stres baik dari dalam
maupun dari luar, dia mampu mengantisipasi akibat-akibat dari konflik atau
stres tersebut dengan cara menyediakan alternatif respon atau solusi yang
paling sesuai.
2.
Afiliasi
Afiliasi berhubungan dengan
kebutuhan untuk berhubungan atau bersatu dengan orang lain dan bersahabat
dengan mereka. Afiliasi membantu individu pada saat menghadapi
konflik baik dari dalam dan luar,
dia mampu mencari sumber-
sumber dari orang lain untuk
mendapatkan dukungan dan pertolongan. Koping afiliasi ini meliputi kemampuan
untuk dapat membagikan masalah yang dihadapi dengan orang lain sehingga secara
tidak langsung membuat orang lain turut merasa bertanggung jawab terhadap
persoalan/konflik/stres yang dihadapi.
3.
Altruisme
Altruisme merupakan salah satu
bentuk koping dengan cara mementingkan kepentingan orang lain. Konflik-konflik
yang memicu timbulnya stres baik dari dalam maupun dari luar diri dialihkan
dengan melakukan pengabdian pada kebutuhan orang lain. Altruisme berbeda dengan
tindakan pengorbanan diri yang menjadi ciri-ciri mekanisme bela ego reaksi
formasi, dimana individu mengalami kepuasan bila dia mengalami sendiri apa yang
dialami oleh orang lain, atau dilakukan untuk orang lain. Pada berbagai
kepercayaan/agama, altruisme mendapatkan nilai yang tinggi sebagai perwujudan
kedewasaan spiritual manusia.
Berkorban, memberikan diri bagi
sesama menjadi nilai universal yang sangat duhargai oleh manusia. Manusia-manusia yang mampu
membuktikan tindakan altruism, mereka dianggap sebagai pahlawan kemanusiaan.
Gandhi, Suster Theresa, Martin Luther King, dan berbagai tokoh lain bisa
menjadi personifikasi dari tindakan altruisme ini.
4.
Penegasan diri (self assertion)
Individu berhadapan dengan konflik emosional yang menjadi pemicu stres dengan
cara mengekspresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya secara lengsung
tetapi dengan cara yang tidak memaksa atau memanipulasi orang lain. Menjadi
asertif tidak sama dengan tindakan agresi. Asertif adalah menegaskan apa yang
dirasakan, dipikirkan oleh individu yang bersangkutan, namun dengan menghormati
pemikiran dan perasaan orang lain. Dewasa ini pelatihan-pelatihan dibidang
asertifitas mulai banyak dilakukan untuk memperbaiki relasi antar manusia.
5.
Pengamatan diri (Self observation)
Pengamatan diri sejajar dengan introspeksi,
yaitu individu melakukan pengujian secara objektif proses-proses kesadaran diri
atau mengadakan pengamatan terhadap tingkah laku, motif, ciri, sifat sendiri,
dan seterusnya untuk mendapatkan pemahaman mengenai diri sendiri yang semakin
mendalam. Pengamatan diri mengandaikan individu memiliki kemampuan untuk
melakukan transendensi, yaitu kemampuan untuk membuat jarak antara diri yang
diamati dengan diri yang mengamati. Perkembangan kognit if dan latihan-latihan
melakukan introspeksi yang dilakukan sejak remaja, akan mempertajam
keterampilan untuk melakukan pengamatan diri ini (Siswanto, 2007).