TEORI KEPRIBADIAN SEHAT
Orang
yang pertama kali berusaha merumuskan psikologi manusia dengan memperhatikan
struktur jiwa manusia adalah Sigmund Freud. Menurut Freud, perilaku manusia
merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia yang
disebutnya id, ego, dan superego (Heru Basuki: 2008, 12-31; Sumadi Suryabrata:
2003, 34).
Id
adalah bagian dari kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis
manusia, atau disebut juga pusat insting (hawa nafsu).
Ada dua insting dominan yaitu : a. libido; yaitu insting reproduktif untuk tujuan-tujuan konstruktif, Insting ini disebut juga insting kehidupan/ eros, misalnya, dorongan seksual, segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan dan cinta diri/ narsisme ; b. Thanatos, yaitu insting destruktif dan agresif. Insting ini disebut juga insting kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. Walaupun Id mampu melahirkan keinginan, tetapi ia tidak mampu memuaskan keinginannya.
Ada dua insting dominan yaitu : a. libido; yaitu insting reproduktif untuk tujuan-tujuan konstruktif, Insting ini disebut juga insting kehidupan/ eros, misalnya, dorongan seksual, segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan dan cinta diri/ narsisme ; b. Thanatos, yaitu insting destruktif dan agresif. Insting ini disebut juga insting kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. Walaupun Id mampu melahirkan keinginan, tetapi ia tidak mampu memuaskan keinginannya.
Ego
berfungsi menjembatani tuntutan-tuntutan Id dengan reaitas di dunia luar. Ego
adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dan tuntutan rasional dan
realistic. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya
dan hidup sebagai wujud yang rasional. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas.
Misalnya, ketika id mendesak supaya anda membalas ejekan lagi, ego segera
memperingatkan anda bahwa lawan anda adalah “Bos” yang dapat memecat anda.
Kalau anda mengikuti desakan Id, maka anda akan konyol. Setelah itu anda baru
ingat, bahwa bahaya jika sampai berani melawan pimpinan dalam budaya Indonesia.
Superego
adalah “polisi kepribadian” yang mewakili dunia ideal. Superego adalah hati
nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma social dan
cultural masyarakatnya. Superego akan memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat
yang tidak berlainan kea lam bawah sadar. Baik id maupun superego berada dalam
bawah sadar manusia, sedangkan ego berada ditengah, antara memenuhi desakan id
dan peraturan superego. Untuk mengatasi ketegangan , ia dapat menyerah pada
tuntutan id, tetapi berarti dihukum superego dengan perasaan bersalah. Untuk
menghindari ketegangan, konflik atau frustasi, ego secara sadar lalu
menggunakan mekanisme pertahanan ego, yaitu dengan mendistorsi realitas. Secara
singkat, dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi komponen
biologis (id), komponen psikologis (ego) dan komponen social (superego), atau
unsure animal, rasional dan moral (hewani, akal dan nilai) (Bertens, 2006: 21).
Sumber :
Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan
Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,
Purwokerto: STAIN PRESS
Aliran Behavioralisme
Behavioristik
lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia
berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis yang berbicara
tentang alam bawah sadar yang tidak tampak).
Behavioristik
ingin menganalisis hanya perilaku yang Nampak saja, yang dapat
diukur,dilukiskan dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioristik lebih
dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku
manusia, kecuali insting adalah hasil belajar. Behavioristik tidak
mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; kaum
behavioristik hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh
factor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (homo
mechanicus”). Behavioristik sangat banyak menentukan perkembangan psikologi,
terutama dalam hal eksperimen-eksperimen. Kajian-kajian psikologi seringkali
hanya mencerminkan pendekatan ini (Calvin Hall, 1993:45).
Pemikiran
behavioristik sebenarnya sudah dikenal sejak Aristoteles yang berpendapat
bahwa, pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa sama seperti meja
lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman.
Kemudian
John Locke meminjam konsep ini, yang dikenal sebagai sebagai kaum empirisme.
Menurut mereka, pada waktu lahir, manusia todak mempunyai warna men tal. Warna
ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah jalan satu-satunya kearah
penguasaan pengetahuan. Secara psikologis, ini berarti bahwa seluruh perilaku
manusia, kepribadian dan tempramen ditentukan oleh pengalaman indrawi. Pikiran
dan perasaan bukan penyebab perilaku manusia, tetapi disebabkan oleh perilaku
masa lalu. Salah satu kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi
timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku
tertentu. Hedomisme, salah satu paham filsafat etika memandang manusia sebagai
mahluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan
menghindari penderitaan. Utilitarianisme mencoba mengkaji seluruh perilaku
manusia pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan
utilitarianisme dan hedonism, maka akan kita temukan behavioristik (Sumadi,
2003: 34).
Memang
behavioristik tidak bisa menjelaskan tentang motivasi. Motivasi memang terjadi
dalam diri individu, sedangkan kaum behavioristik hanya melihat
peristiwa-peristiwa yang “kasat mata” dalam arti yang dapat diamati bersifat
eksternal. Perasaan dan pikiran tidak menarik perhatian kaum behaviorisme.
Beberapa ratus tahun kemudian barulah psikologi kembali memasuki proses
kejiwaan internal. Paradigm baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi
kognitif.
Sumber :
Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan
Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,
Purwokerto: STAIN PRESS
Aliran Humanistik
Psikologi
humanistic dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama
dan kedua adalah psikoanalisis dan behavioralisme.
Dalam
pandangan behavioristik manusia menjadi robot tanpa jiwa dan tanpa nilai.
Psikologi humanistic mengambil banyak dari psikoanalisis neo-Freudian seperti
Adler dan Jung, serta banyak mengambil pemikiran fenomenologi memandang manusia
hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara
subjektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. Alam pengalaman
setiap orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.
Menurut
Alfred Schultz, tokoh fenomenologi, pengalaman subjektif ini dikomunikasikan
oleh factor social dalam proses intersubjektivitas. Intersubjektivitas
diungkapkan pada eksisten-sialisme dalam tema dialog, pertemuan, hubungan diri
dengan orang lain. Eksistensialisme menekankan pentingnya kewajiban individu
sesame manusia. Yang paling penting bukan apa yang didapat dari kehidupan,
teta[I apa yang dapat kita berikan untuk kehidupan.
Hidup kita baru
bermakna hanya apabila melibatkan nilai-nilai dan pilihan yang konstruktif
secara social. Jadi intisari dari psikologi humanism adalah bahwa pada keunikan
manusia, pentingnya nilai dan makna, serta kemampuan manusia untuk
mengembangkan dirinya. Pandangan psikologi humanism pada intinya adalah setiap
manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi dimana dia (Sang
Aku, Ku, atau Diriku/ I, Me atau My self) menjadi pusat. Perilaku manusia
berpusat pada konsep diri, yaitu persepsi manusia tentang identitas dirinya
yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah, yang munculdari suatu medan
fenomenal. Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan
mengaktualisasikan diri. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi
tentang dirinya dan dunianya. Dengan perkataan lain, ia bereaksi pada
“realitas” seperti yang dipersepsikan olehnya dengan cara yang sesuai dengan
konsep dirinya. Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh
pertahanan diri berupa penyempitan dan pengkakuan persepsi dan perilaku
penyesuaian serta pengguanaan mekanisme pertahanan ego seperti rasionalisasi.
Kecenderungan batiniah manusia adalah menuju kesehatan dan keutuhan diri. Dalam
kondisi yang normal ia berperilaku rasional dan konstruktif, serta memilih
jalan menuju pengembangan dan aktualisasi diri.
Sumber :
Rochman, Kholil Lur.2010. Kesehatan
Mental. Yogyakarta : Fajar Media Press,
Purwokerto: STAIN PRESS
NUNIK PARWATI
17511862
2PA01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar